Minggu, 02 Februari 2014

Pembebanan pada Pipa Bawah Laut

Berdasarkan pada standar DNV OS F101 Submarine Pipeline Systems 2000, pembebanan pada pipa dibagi menjadi 2, yaitu beban fungsional dan beban lingkungan. Dimana, beban-beban tersebut akan ditentukan terlebih dahulu sebelum proses desain dimulai.

Beban Fungsional

Beban fungsional merupakan beban yang berasal dari keberadaan fisik pipa. Hal tersebut sangat menentukan integritas dari sistem pipa, baik selama proses instalasi, hidrotes, maupun saat operasional. Yang termasuk beban fungsional adalah sebagai berikut:
  • Gaya berat
    Yang termasuk ke dalam beban ini adalah berat pipa secara keseluruhan, berat isi yang ditransportasikan baik pada saat kondisi operasi dan hidrotes, serta gaya angkat.
  • Tekanan
    Beban tekanan yang dimaksud adalah tekanan yang terjadi pada pipa yang terdiri dari tekanan internal, tekanan eksternal, dan tekanan tanah (untuk pipa yang dikubur).
  • Thermal expansion dan contraction
    Beban ini biasanya diakibatkan oleh temperatur dan isi yang ditransportasikan dalam pipa.
  • Pre-stressing
    Beban yang termasuk ke dalam beban ini biasanya adalah tekanan yang diakibatkan oleh akitivitas pada saat instalasi pipa.

Beban Lingkungan

Beban lingkungan adalah beban yang bekerja pada pipa yang diakibatkan oleh lingkungan sekitar dan bukan merupakan beban fungsional atau beban accidental.

Beban lingkungan yang bekerja pada pipa biasanya terdiri atas beban angin, gelombang, arus, beban hidrodinamik, dan fenomena lingkungan lainnya.

Bebab Accidental

Selain beban fungsional dan lingkungan, dalam desain pipa juga dikenal adanya beban accidental, yaitu beban yang diakibatkan oleh keadaan yang tidak direncanakan. Yang termasuk beban ini adalah vessel impact, benda jatuh, pergerakan tanah, gesekan jangkar, dan lain-lain.



Disadur dari:
Zenal Abidin (2008). Laporan Tugas Akhir: Analisis On-Bottom Stability dan Instalasi Pipa Bawah Laut di Daerah Shore Approach.

Muai Panjang (Thermal Ezpansion)

Zat padat secara mikroskopis dapat dipandang sebagai model atom-atom yang dihubungkan dengan pegas. Pegas-pegas tersebut bergetar dengan amplitudo tertentu. Bila temperaturnya dinaikkan maka amplitudonya juga berubah. Akibatnya, jarak antar ato juga berubah. Sehingga secara keseluruhan dimensi dari zat padat tersebut berubah.

Regangan longitudinal akibat efek ujung-ujung tertutup didapat dari:


Regangan longitudinal akibat hoop stress didapat dari:


Tegangan tekan longitudinal pada pipa disebabkan oleh gaya gesek tanah:


Komponen regangan longitudinal untuk ujung pipa yang diberi tahanan jepit-bebas atau bebas-bebas pada jalur pipa. Sehingga regangan total merupakan:


Sedangkan perihal distribusi temeratur pada pipa yang menyebabkan hal di atas mempunyai distribusi:

Distribusi logaritmik


Distribusi eksponensial


Dengan keterangan simbol sebagai berikut:


Regangan longitudinal menghasilkan simpangan, seperti terlihat di bawah:



Disadur dari:


REZA MUHAMMAD ABIZAR (2008). PERENCANAAN PIPA DAN EXPANSION SPOOL PADA PIPA PENYALUR SPM.

Metode Inspeksi Pipa Bawah Laut

Situasi dan kondisi lingkungan dasar laut tidaklah mudah diketahui secara pasti tanpa didukung ketersedian peralatan dan teknologi yang memadai. Beberapa faktor yang menyebabkan demikian adanya adalah  setiap penambahan kedalaman laut sebesar 33 feet (+10 meter) akan menyebabkan bertambahnya tekanan sebesar 1 atmosfer (14.7 Psi). Semakin dalam perairan hingga ke dasar laut maka semakin tinggi pula tekanan yang ada, dan alhasil manusia sangat memiliki keterbatasan untuk mampu menahan tekanan yang begitu besar.

Selain itu, bersamaan dengan kondisi alam seperti itu maka faktor suhu yang juga sangat dingin serta kurangnya pencahayaan di dasar laut menyebabkan jarak pandang sangat dekat, dan masih banyak lagi faktor-faktor lain yang tidak dapat dsebutkan satu per satu. Untuk mendukung pekerjaannya seperti tugas-tugas inspeksi pemipaan migas dasar laut, dikenal beberapa metode dengan kelebihan dan kelemahannya masing-masing sebagai berikut:

  • Metode survei dengan sistem peralatan ROV (Remote Operated Vehicle), suatu sistem kendaraan yang dioperasikan dari jarak jauh. Metode ini kadang digunakan oleh beberapa industri ataupun institusi untuk melakukan pengamtan atau pekerjaan di dasar laut. Industri ataupun perusahaan migas juga biasa menggunakan metode ini, namun, terdapat keterbatasan pada metode ini. Pada kendaraan ini biasa dipasang beberapa peralatan pengamatan/survey tambahan berupa kamera video bawah air, peralatan sonar berupa side scan sonar. Untuk menggunakannya, si kendaraan ini (ROV) dikontrol dari jauh dan berlalu di atas sepanjang pemipaan migas. Sepanjang pengamatannya maka side scan sonar dan video kamera bawah laut dapat mengobservasi posisi lokasi jaringan pemipaan migas di dasar laut, meskipun demikian bahwa hingga saat ini video kamera yang terpasang pada ROV ini hanya bisa mendeteksi adanya kebocoran pemipaan migas dalam skala yang besar. Selain itu juga masih memiliki sedikit keterbatasan pengamatan terhadap jaringan pemipaan migas yang tertanam di bawah lumpur atau sedimen dasar laut. Karena itu maka masih sulit diharapkan adanya informasi yang lebih detal tentang seberapa besar kebocoran yang terjadi dan seberapa besar ketebalan dinding pipa yang masih ada.

  • Metode Molche-System. Metode ini beroperasi atau bekerja dengan memanfaatkan prinsip ultrasonik atau dengan prinsip sistem aliran magnetik. Observasi yang dilakukan akan memberikan informasi tentang kerusakan pemipaan migas dan keadaan atau kondisi ketebalan pemipaan yang ada. Lagi-lagi bahwa setiap sistem tentu kadang memiliki kelemahan juga, bahwa dengan menggunakan teknologi ini punya kekurangan besar, yaitu kadang mengharuskan produksi migas harus diturunkan terlebih dulu atau bahkan kalau perlu diberhentikan pada saat melakukan obrservasi, nah ini kadang sulit karena menjadi tidak efisien dalam hal finansial. Menggunakan metode Molche-System dalam mendeteksi kerusakan pemipaan migas bawah laut hanya akan sensitif terhadap kehilangan material jaringan pemipaan yang besar sewaktu kebocoran sedang terjadi atau sesudahnya.

  • Metode pengecekan dan atau pemantauan atau pendeteksian terhadap jaringan pemipaan migas bawah laut selanjutnya adalah dengan metode system kesetimbangan massa. Metode ini juga sedikit rumit, karena ia membutuhkan banyak sensor-sensor instrumen guna mengukur parameter-parameter lingkungan antara lain tekanan, suhu air dasar laut, kerapatannya sepanjang jaringan pemipaan migas yang diamati. Bahkan dalam banyak hal juga metode ini masih tidak praktis, selain memiliki kelemahan dalam tingkat resolusi pendeteksiannya sehingga tentunya akurasi data yang diharapkan masih lemah dan tidak mampu mendeteksi kebocoran pipa migas dalam skala kecil.

Sumber:
Ilham Hasan (2011). Teknologi Inspeksi Kebocoran Jaringan Pipa “MIGAS” Bawah Laut.

Jenis-jenis Korosi pada Pipa Bawah Laut

Secara spesifik korosi didefinisikan sebagai kumpulan dari keseluruhan proses dengan jalan dimana metal atau alloy yang digunakan untuk material struktur berubah bentuk dari bersifat metal menjadi beberapa kombinasi dari kondisi yang disebabkan oleh interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian korosi diartikan juga sebagai kerusakan atau keausan dari material akibat terjadinya reaksi dengan lingkungan yang didukung oleh faktor-faktor tertentu (Supomo, 2003). Pipa bawah laut yang terbuat dari baja akan sangat susah terhindarkan dari korosi, mengingat lingkungan laut sangat korosif.

Korosi adalah penurunan mutu logam yang disebabkan oleh reaksi elektrokimia antara logam dengan lingkungan sekitarnya (Trethewey, 1991).

Berdasarkan penyebabnya, korosi dapat dibedakan menjadi:
  1. Korosi Homogen, yaitu jenis korosi yang sering dan umum terjadi pada konstruksi-konstruksi logam. Jenis ini biasanya dikategorikan menurut reaksi electro-chemical yang secara homogen terjadi karat ke seluruh bagian material yang terbuka.
  2. Korosi Galvanik, yaitu korosi yang terjadi pada dua logam berbeda potensial dalam satu elektrolit. Logam yang mempunyai tahanan korosi kecil (anodik) akan terkorosi. 
  3. Korosi celah (crevice corrosion), yaitu korosi yang sering terjadi pada celah dan permukaan tertutup lainnya dari suatu logam yang terletak pada corrosive media. Tipe korosi jenis ini selalu dalam skala kecil dari larutan yang terperangkap lewat lubang, gasket, lap joint maupun baut. 
  4. Korosi Batas Butir (intergranular corrosion), yaitu korosi yang terjadi pada batas butir yang merupakan tempat mengumpulnya impurity atau prespitat dan lebih tegang. 
  5. Korosi sumuran (pitting corrosion), yaitu korosi yang terjadi akibat adanya sistem anoda pada logam yang terdapat konsentrasi ion Cl- yang tinggi. 
  6. Selective Leaching, yaitu larutnya salah satu komponen dari suatu paduan dan mengakibatkan paduan yang tersisa akan menjadi berpori sehingga ketahanan korosi berkurang.
  7. Korosi Erosi (erosion corrosion), yaitu korosi yang disebabkan oleh gerakan relatif antara fluida korosif dan permukaan metal.
  8. Korosi Tegangan (stress corrosion), yaitu korosi akibat adanya retakan akibat tegangan tarik dan media korosif secara bersamaan.
  9. Korosi Biologi, yaitu kerusakan logam oleh proses korosi sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas organisme hidup, baik mikroorganisme maupun makroorganisme.

Disadur dari:
Ika Marcelina Sari Dewi, Imam Rochani, Heri Supomo. STUDI PERBANDINGAN LAJU KOROSI DENGAN VARIASI CACAT COATING PADA PIPA API 5L GRADE X65 DENGAN 

MEDIA KOROSI NaCl.

Identifikasi Infrastruktur Migas Dasar Laut serta Usulan Pengelolaan Pipa Bawah Laut dan Anjungan Migas Lepas Pantai

Di perairan Indonesia terdapat sekitar 530 buah anjungan migas lepas pantai, sebanyak 70 buah anjungan sudah tidak beroperasi. Sebagian besar anjungan-anjungan ini telah berumur antara 20-40 tahun. Mengingat hal tersebut beberapa anjungan telah menimbulkan masalah baik yang berhubungan dengan kondisi struktur anjungan maupun dengan posisi keberadaan anjungan tersebut di laut, terutama anjungan yang sudah tidak beroperasi. Sarana infrastruktur migas lainnya adalah jaringan pipa bawah laut yang berupa jaringan pipa transmisi dan distribusi gas serta jaringan pipa hulu. Pada beberapa tempat aturan tentang penggelaran pipa dan acuan standar untuk penggelaran pipa migas bawah laut belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik, sehingga timbul beberapa permasalahan secara teknis dan lebih jauh menimbulkan konflik kepentingan dengan sektor lain. Oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan jaringan pipa ini dengan cara melakukan pengawasan/ inspeksi secara periodik dan berkala.

Tujuan penelitian adalah menginventarisasi keberadaan pipa migas bawah laut dan anjungan migas lepas pantai, mengkaji permasalahan yang ditimbulkan, selanjutnya mengusulkan pengelolaannya baik yang masih beroperasi maupun tidak, dengan sasaran masukan data teknis yang berkaitan dengan permasalahan keberadaan infrastruktur migas di laut dan memberikan bahan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan perundangan yang telah ada yang berkaitan dengan keberadaan infrastruktur migas di laut.

Lokasi kajian dititikberatkan pada wilayah perairan yang mempunyai infrastruktur migas bawah laut, seperti anjungan migas lepas pantai dan jalur pipa penyalur minyak dan gas bumi. Wilayah tersebut meliputi perairan sekitar pantai utara Jawa, perairan utara Madura dan Selat Madura, perairan sebelah timur Kalimantan Timur, perairan Kepulauan Riau dan perairan sekitar Pulau Natuna. Berdasarkan hasil identifikasi data dan hasil pengecekan lapangan, sebagian besar lokasi anjungan migas di wilayah perairan Indonesia berada pada kedalaman laut antara 10-100 m, hanya beberapa buah anjungan yang terdapat di perairan yang kedalamannya lebih dari 100 m, yaitu anjungan migas di perairan sebelah timur Kalimantan Timur (kedalaman antara 400-1000 m) dan anjungan migas di sebelah timur-selatan P. Kangean (150-200 m).

Dari 530 buah anjungan yang ada di perairan Indonesia sebanyak 70 buah anjungan sudah tidak beroperasi. Anjungan-anjungan ini sebagian besar dibangun antara tahun 1970-1990 dan sebanyak 60 buah anjungan tersebar di Laut Jawa.

Sebaran sumur pemboran dan anjungan migas yang sudah tidak
beroperasi di Laut Jawa (sumber : PPPGL, 2010)

Beberapa permasalahan yang terjadi pada anjungan migas lepas pantai di wilayah perairan Indonesia, baik yang masih beroperasi maupun yang sudah tidak beroperasi, di antaranya adalah adanya penurunan stuktur anjungan terhadap level muka air laut yang disebabkan oleh adanya penurunan muka tanah (subsidence) disekitar anjungan, terjadinya penurunan kualitas struktur anjungan akibat adanya korosi dan marine growth, dan beberapa anjungan migas posisinya terletak pada jalur pelayaran dan daerah tangkapan ikan.

Khusus untuk anjungan yang tidak beroperasi berdasarkan PP No. 35 Tahun 2004 pasal 78 ayat 1 dan perjanjian dalam Production Sharing Contract (PSC) tahun 1976 – 1988 keberadaan anjungan ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membongkar atau memanfaatkannya untuk fungsi lain. Mengingat biaya pembongkaran suatu anjungan migas lepas pantai sangat mahal mencapai 1.5 Juta Dolar Amerika per anjungan dan sangat memberatkan beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), maka usulan untuk memanfaatkan anjungan tidak beroperasi untuk kepentingan lain merupakan solusi yang sangat memungkinkan dan diatur dalam Permen ESDM No. 35 Tahun 2006, pasal 17 dan pasal 18. Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa Menteri ESDM dapat mengajukan usulan penghapusan barang operasi (termasuk anjungan migas lepas pantai) untuk dapat dimanfaatkan, dipindahkan, atau dimusnahkan atas persetujuan dari Menteri Keuangan. Untuk dapat memanfaatkan anjungan migas untuk fungsi lain harus dilakukan penelitian secara lengkap, baik yang menyangkut masalah teknis, aturan standar, lingkungan, maupun perundang-undangan yang berlaku.

Rencana jaringan pipa baru yang akan dibangun meliputi jaringan pipa Natuna - Kalimantan, Jawa - Kalimantan, Jawa Barat - Jawa Timur, dan jaringan Sumatera - Jawa.

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap infrastruktur pipa migas di dasar laut pada setiap zona perairan diajukan beberapa usulan untuk pengelolaan jaringan pipa migas di dasar laut, di antaranya adalah melakukan pemeriksaan secara periodik dan berkala pada jaringan pipa transmisi, distribusi dan pipa hulu yang terdapat di dasar laut terutama pada lokasi-lokasi yang potensial untuk terjadinya kegagalan struktur pipa, jalur pipa yang melewati lokasi tempat labuh kapal, jalur pipa yang melewati lokasi penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang dan jalur pipa yang melewati lokasi-lokasi di alur pelayaran yang padat dengan menggunakan beberapa metode geofisika, seperti Remotely Operated Vehicle (ROV), Side Scan Sonar (SSS), Multibeam Echosounder, dan Geomagnetik Laut.

Pemeriksaan dilakukan secara periodik dan berkala pada jaringan pipa untuk mendeteksi adanya korosi, kebocoran pipa, pipa retak dan marine growth dengan menggunakan Remotely Operated Vehicle (ROV). Pemendaman dilakukan pada pipa yang digelar secara terbuka di dasar laut pada kedalaman laut kurang dari 13 m. Sedangkan pipa yang digelar secara terbuka di dasar laut pada kedalaman laut lebih dari 13 m harus dilengkapi dengan pemberat, hal ini untuk menjaga kestabilan pipa di dasar laut dan mencegah terjadinya kegagalan struktur pada sistem perpipaan. Memberi bangunan pendukung (concrete) pada pipa yang terindikasi mengalami kondisi bentangan bebas (freespan), sesuai dengan standar DNV-RP-F105. Penimbunan dilakukan pada lokasi perpotongan (crossing) antar pipa bawah laut atau dengan kabel bawah laut agar tidak terjadi kondisi freespan. Memberi buckle arrestor pada pipa yang mengalami buckling atau pemipihan atau pembengkokan sesuai dengan standar DNV OS F101-2000 untuk kondisi local buckling dan DNV RP-F110 untuk kondisi global buckling.


Disadur dari:

Pipa Kabel Bawah Laut Indonesia Seperti Sarang Laba-laba

Sudah saatnya pemasangan pipa kabel bawah laut diatur. Tanpa pengaturan yang baik, selain menggangu transportasi laut, kabel pipa bawah laut yang dipasang serampangan juga berpotensi besar mudah rusak dan menimbulkan kerugian.

Pengaturan pipa bawah laut ini menjadi salah satu hal yang diatur dalam revisi Undang -undang nomor 27 tahun 2007 terutama tentang sistem zona dan alur migrasi perikanan. Dengan begitu, tidak bisa lagi pipa bawah laut dipasang secara sembarangan.

“Sampai hari ini di republik ini belum ada undang-undang yang mengatur pipa bawah laut,” kata Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelauatan dan Perikanan Sudirman Saad, Selasa (17/12). Karena itu wajar ini di dasar laut Indonesia terutama yang dekat dengan kota-kota besar, pipa kabel bawah laut terpasang semrawut. “Seperti sarang laba-laba,” kata Sudirman.

Ia mencontohkan di kawasan Teluk Jakarta dimana banyak terdapat pipa kabel bawah laut. Bahkan kawasan yang sudah mendapat izin reklamasi ada yang akal menimbun kabel dan pipa bawah laut.

Ia membandingkan sistem pengaturan pipa kabel bawah laut di Singapura yang tertata rapi di zona tertentu. Tiga koridor dibuat dengan jarak yang diatur. Karena itu, di perairan negeri singa itu, kapal berbobot 1.000 gross ton (GT) atau lebih bisa lego jangkar.

Sementara dengan jaringan pipa kabel bawah laut sarang laba-laba, perairan Batam tidak bisa dimasuki kappa berbobot 1.000 GT. “Bagaimana hebatnya pelabuhan di Batam, kalau tidak ada pengaturan, kapal 1.000 GT tidak bisa masuk,” ujar Sudirman.

Jika ada kapal lego jangkar, maka besar kemungkinan akan merusak pipa kabel bawah laut di wilayah Indonesia itu. Ia mencontohkan kasus padamnya jaringan listrik di Madura selama sebulan beberapa waktu lalu karena jangkar kapal di Tanjung Perak mengenai kabel transmiri listrik ke Madura.

Inilah pentingnya Undang-undang nomor 27 tahun 2007 yang revisinya disahkan DPR pada hari Rabu (18/12). Perlu ada penataan wilayah mana yang berbahaya atau wilayah yang masuk dalam alur migrasi perikanan.

Undang-undang menurut Sudirman juga akan mengatur tentang kewenangan dalam pengelolaan izinnya. Untuk pemasangan kabel pipa bawah laut yang di luar jalur pelayaran misalnya yang harus seizin Kementerian Kelautan Perikanan (KKP). Ini akan disesuaikan dengan wilayah penangkapan ikan serta kawasan alur migrasi ikan sehingga tidak ada tumpang tindih. Jangan sampai kasus di Madura dan tersangkutnya ikan hiu paus di jalan nelayan Jawa Timur terulang.

Sesuai dengan peraturan Internasional, dalam radius tertentu wilayah kabel pipa bawah laut, dilarang ada aktivitas apapun. Jika kita menerapkan aturan ini, saat ini perairan kita, khususnya yang dekat dengan kota besar menurut Sudirman tidak boleh ada kegiatan pelayaran dan penangkapan ikan.


Disadur dari:

Manajemen Pembuangan Limbah Panas

Buangan limbah panas dari pendingin mesin-mesin industri dan pendingin mesin pembangkit tenaga listrik ke perairan laut secara kontinyu di suatu tempat dan tidak mempertimbangkan kondisi perairan dan cuaca serta iklim dapat berdampak negatif terhadap kehidupan organisme di habitat perairannya. Hal ini dapat diminimalisasikan atau bahkan tidak akan berdampak sama sekali jika dilakukan suatu usaha untuk mengatur buangan limbah panas dengan manajemen yang tepat dan benar. Manajemen buangan limbah tersebut meliputi pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut:
  • Pembuangan limbah panas dengan volume tertentu pada suatu musim dan kondisi cuaca dan iklim tertentu dengan suatu kondisi perairan laut yang tepat.
  • Pengaturan pembuangan limbah panas pada pipa-pipa buangan limbah panas yang tepat pada suatu musim dan kondisi cuaca dan iklim tertentu dengan suatu kondisi perairan laut yang tepat jika terdapat beberapa pipa buangan (outfall).
  • Pembuangan limbah panas dengan suhu air tertentu pada suatu musim dan kondisi cuaca dan iklim tertentu dengan suatu kondisi perairan laut yang tepat jika menggunakan mekanisme regulator pendingin sebelum dibuangan ke perairan.
  • Kedalaman pipa buangan limbah panas pada suatu musim dan kondisi cuaca dan iklim tertentu dengan suatu kondisi perairan laut yang tepat jika terdapat beberapa pipa limbah buangan panas pada beberapa level kedalaman sebagai alternatif buangan.
Strategi dan perencanaan pengaturan tersebut di atas adalah sebagai dasar untuk dibangunnya skenario pemodelan untuk mengetahui efisiensi dan efektifitas dari pemilihan berbagai macam alternatif pengaturan buangan limbah panas. Beberapa skenario model dengan manajemen tertentu dapat disimulasikan untuk mengetahui pola penyebaran perubahan suhu perairan dan kemungkinan dampaknya, sehingga pada akhirnya akan terpilih pola manajemen buangan limbah panas mana yang paling optimal untuk digunakan.

Modul Hidrodinamika digunakan untuk mensimulasikan kondisi perairan meliputi arus dan gelombang sedangkan modul Adveksi-Dispersi digunakan untuk mengkaji pola perpindahan (transport), penyebaran (dispersion) dan pengurangan (decay) dari limbah buangan panas. Efek dari perubahan suhu terhadap habitat dalam suatu ekosistem di perairan tersebut ditelaah dengan menggunakan modul model Ekosistem, sedangkan jika lokasi pembungan limbah panas terdapat di sekeitar perairan estuari maka modul Aliran Sungai dapat diintegrasikan untuk menghasilkan luaran model yang lebih akurat. Hasil dari pemodelan dapat diintegrasikan visualisasi dan basis data pemodelan dengan menggunakan modul GIS Kelautan.


Disadur dari: