Minggu, 02 Februari 2014

Pembebanan pada Pipa Bawah Laut

Berdasarkan pada standar DNV OS F101 Submarine Pipeline Systems 2000, pembebanan pada pipa dibagi menjadi 2, yaitu beban fungsional dan beban lingkungan. Dimana, beban-beban tersebut akan ditentukan terlebih dahulu sebelum proses desain dimulai.

Beban Fungsional

Beban fungsional merupakan beban yang berasal dari keberadaan fisik pipa. Hal tersebut sangat menentukan integritas dari sistem pipa, baik selama proses instalasi, hidrotes, maupun saat operasional. Yang termasuk beban fungsional adalah sebagai berikut:
  • Gaya berat
    Yang termasuk ke dalam beban ini adalah berat pipa secara keseluruhan, berat isi yang ditransportasikan baik pada saat kondisi operasi dan hidrotes, serta gaya angkat.
  • Tekanan
    Beban tekanan yang dimaksud adalah tekanan yang terjadi pada pipa yang terdiri dari tekanan internal, tekanan eksternal, dan tekanan tanah (untuk pipa yang dikubur).
  • Thermal expansion dan contraction
    Beban ini biasanya diakibatkan oleh temperatur dan isi yang ditransportasikan dalam pipa.
  • Pre-stressing
    Beban yang termasuk ke dalam beban ini biasanya adalah tekanan yang diakibatkan oleh akitivitas pada saat instalasi pipa.

Beban Lingkungan

Beban lingkungan adalah beban yang bekerja pada pipa yang diakibatkan oleh lingkungan sekitar dan bukan merupakan beban fungsional atau beban accidental.

Beban lingkungan yang bekerja pada pipa biasanya terdiri atas beban angin, gelombang, arus, beban hidrodinamik, dan fenomena lingkungan lainnya.

Bebab Accidental

Selain beban fungsional dan lingkungan, dalam desain pipa juga dikenal adanya beban accidental, yaitu beban yang diakibatkan oleh keadaan yang tidak direncanakan. Yang termasuk beban ini adalah vessel impact, benda jatuh, pergerakan tanah, gesekan jangkar, dan lain-lain.



Disadur dari:
Zenal Abidin (2008). Laporan Tugas Akhir: Analisis On-Bottom Stability dan Instalasi Pipa Bawah Laut di Daerah Shore Approach.

Muai Panjang (Thermal Ezpansion)

Zat padat secara mikroskopis dapat dipandang sebagai model atom-atom yang dihubungkan dengan pegas. Pegas-pegas tersebut bergetar dengan amplitudo tertentu. Bila temperaturnya dinaikkan maka amplitudonya juga berubah. Akibatnya, jarak antar ato juga berubah. Sehingga secara keseluruhan dimensi dari zat padat tersebut berubah.

Regangan longitudinal akibat efek ujung-ujung tertutup didapat dari:


Regangan longitudinal akibat hoop stress didapat dari:


Tegangan tekan longitudinal pada pipa disebabkan oleh gaya gesek tanah:


Komponen regangan longitudinal untuk ujung pipa yang diberi tahanan jepit-bebas atau bebas-bebas pada jalur pipa. Sehingga regangan total merupakan:


Sedangkan perihal distribusi temeratur pada pipa yang menyebabkan hal di atas mempunyai distribusi:

Distribusi logaritmik


Distribusi eksponensial


Dengan keterangan simbol sebagai berikut:


Regangan longitudinal menghasilkan simpangan, seperti terlihat di bawah:



Disadur dari:


REZA MUHAMMAD ABIZAR (2008). PERENCANAAN PIPA DAN EXPANSION SPOOL PADA PIPA PENYALUR SPM.

Metode Inspeksi Pipa Bawah Laut

Situasi dan kondisi lingkungan dasar laut tidaklah mudah diketahui secara pasti tanpa didukung ketersedian peralatan dan teknologi yang memadai. Beberapa faktor yang menyebabkan demikian adanya adalah  setiap penambahan kedalaman laut sebesar 33 feet (+10 meter) akan menyebabkan bertambahnya tekanan sebesar 1 atmosfer (14.7 Psi). Semakin dalam perairan hingga ke dasar laut maka semakin tinggi pula tekanan yang ada, dan alhasil manusia sangat memiliki keterbatasan untuk mampu menahan tekanan yang begitu besar.

Selain itu, bersamaan dengan kondisi alam seperti itu maka faktor suhu yang juga sangat dingin serta kurangnya pencahayaan di dasar laut menyebabkan jarak pandang sangat dekat, dan masih banyak lagi faktor-faktor lain yang tidak dapat dsebutkan satu per satu. Untuk mendukung pekerjaannya seperti tugas-tugas inspeksi pemipaan migas dasar laut, dikenal beberapa metode dengan kelebihan dan kelemahannya masing-masing sebagai berikut:

  • Metode survei dengan sistem peralatan ROV (Remote Operated Vehicle), suatu sistem kendaraan yang dioperasikan dari jarak jauh. Metode ini kadang digunakan oleh beberapa industri ataupun institusi untuk melakukan pengamtan atau pekerjaan di dasar laut. Industri ataupun perusahaan migas juga biasa menggunakan metode ini, namun, terdapat keterbatasan pada metode ini. Pada kendaraan ini biasa dipasang beberapa peralatan pengamatan/survey tambahan berupa kamera video bawah air, peralatan sonar berupa side scan sonar. Untuk menggunakannya, si kendaraan ini (ROV) dikontrol dari jauh dan berlalu di atas sepanjang pemipaan migas. Sepanjang pengamatannya maka side scan sonar dan video kamera bawah laut dapat mengobservasi posisi lokasi jaringan pemipaan migas di dasar laut, meskipun demikian bahwa hingga saat ini video kamera yang terpasang pada ROV ini hanya bisa mendeteksi adanya kebocoran pemipaan migas dalam skala yang besar. Selain itu juga masih memiliki sedikit keterbatasan pengamatan terhadap jaringan pemipaan migas yang tertanam di bawah lumpur atau sedimen dasar laut. Karena itu maka masih sulit diharapkan adanya informasi yang lebih detal tentang seberapa besar kebocoran yang terjadi dan seberapa besar ketebalan dinding pipa yang masih ada.

  • Metode Molche-System. Metode ini beroperasi atau bekerja dengan memanfaatkan prinsip ultrasonik atau dengan prinsip sistem aliran magnetik. Observasi yang dilakukan akan memberikan informasi tentang kerusakan pemipaan migas dan keadaan atau kondisi ketebalan pemipaan yang ada. Lagi-lagi bahwa setiap sistem tentu kadang memiliki kelemahan juga, bahwa dengan menggunakan teknologi ini punya kekurangan besar, yaitu kadang mengharuskan produksi migas harus diturunkan terlebih dulu atau bahkan kalau perlu diberhentikan pada saat melakukan obrservasi, nah ini kadang sulit karena menjadi tidak efisien dalam hal finansial. Menggunakan metode Molche-System dalam mendeteksi kerusakan pemipaan migas bawah laut hanya akan sensitif terhadap kehilangan material jaringan pemipaan yang besar sewaktu kebocoran sedang terjadi atau sesudahnya.

  • Metode pengecekan dan atau pemantauan atau pendeteksian terhadap jaringan pemipaan migas bawah laut selanjutnya adalah dengan metode system kesetimbangan massa. Metode ini juga sedikit rumit, karena ia membutuhkan banyak sensor-sensor instrumen guna mengukur parameter-parameter lingkungan antara lain tekanan, suhu air dasar laut, kerapatannya sepanjang jaringan pemipaan migas yang diamati. Bahkan dalam banyak hal juga metode ini masih tidak praktis, selain memiliki kelemahan dalam tingkat resolusi pendeteksiannya sehingga tentunya akurasi data yang diharapkan masih lemah dan tidak mampu mendeteksi kebocoran pipa migas dalam skala kecil.

Sumber:
Ilham Hasan (2011). Teknologi Inspeksi Kebocoran Jaringan Pipa “MIGAS” Bawah Laut.

Jenis-jenis Korosi pada Pipa Bawah Laut

Secara spesifik korosi didefinisikan sebagai kumpulan dari keseluruhan proses dengan jalan dimana metal atau alloy yang digunakan untuk material struktur berubah bentuk dari bersifat metal menjadi beberapa kombinasi dari kondisi yang disebabkan oleh interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian korosi diartikan juga sebagai kerusakan atau keausan dari material akibat terjadinya reaksi dengan lingkungan yang didukung oleh faktor-faktor tertentu (Supomo, 2003). Pipa bawah laut yang terbuat dari baja akan sangat susah terhindarkan dari korosi, mengingat lingkungan laut sangat korosif.

Korosi adalah penurunan mutu logam yang disebabkan oleh reaksi elektrokimia antara logam dengan lingkungan sekitarnya (Trethewey, 1991).

Berdasarkan penyebabnya, korosi dapat dibedakan menjadi:
  1. Korosi Homogen, yaitu jenis korosi yang sering dan umum terjadi pada konstruksi-konstruksi logam. Jenis ini biasanya dikategorikan menurut reaksi electro-chemical yang secara homogen terjadi karat ke seluruh bagian material yang terbuka.
  2. Korosi Galvanik, yaitu korosi yang terjadi pada dua logam berbeda potensial dalam satu elektrolit. Logam yang mempunyai tahanan korosi kecil (anodik) akan terkorosi. 
  3. Korosi celah (crevice corrosion), yaitu korosi yang sering terjadi pada celah dan permukaan tertutup lainnya dari suatu logam yang terletak pada corrosive media. Tipe korosi jenis ini selalu dalam skala kecil dari larutan yang terperangkap lewat lubang, gasket, lap joint maupun baut. 
  4. Korosi Batas Butir (intergranular corrosion), yaitu korosi yang terjadi pada batas butir yang merupakan tempat mengumpulnya impurity atau prespitat dan lebih tegang. 
  5. Korosi sumuran (pitting corrosion), yaitu korosi yang terjadi akibat adanya sistem anoda pada logam yang terdapat konsentrasi ion Cl- yang tinggi. 
  6. Selective Leaching, yaitu larutnya salah satu komponen dari suatu paduan dan mengakibatkan paduan yang tersisa akan menjadi berpori sehingga ketahanan korosi berkurang.
  7. Korosi Erosi (erosion corrosion), yaitu korosi yang disebabkan oleh gerakan relatif antara fluida korosif dan permukaan metal.
  8. Korosi Tegangan (stress corrosion), yaitu korosi akibat adanya retakan akibat tegangan tarik dan media korosif secara bersamaan.
  9. Korosi Biologi, yaitu kerusakan logam oleh proses korosi sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas organisme hidup, baik mikroorganisme maupun makroorganisme.

Disadur dari:
Ika Marcelina Sari Dewi, Imam Rochani, Heri Supomo. STUDI PERBANDINGAN LAJU KOROSI DENGAN VARIASI CACAT COATING PADA PIPA API 5L GRADE X65 DENGAN 

MEDIA KOROSI NaCl.

Identifikasi Infrastruktur Migas Dasar Laut serta Usulan Pengelolaan Pipa Bawah Laut dan Anjungan Migas Lepas Pantai

Di perairan Indonesia terdapat sekitar 530 buah anjungan migas lepas pantai, sebanyak 70 buah anjungan sudah tidak beroperasi. Sebagian besar anjungan-anjungan ini telah berumur antara 20-40 tahun. Mengingat hal tersebut beberapa anjungan telah menimbulkan masalah baik yang berhubungan dengan kondisi struktur anjungan maupun dengan posisi keberadaan anjungan tersebut di laut, terutama anjungan yang sudah tidak beroperasi. Sarana infrastruktur migas lainnya adalah jaringan pipa bawah laut yang berupa jaringan pipa transmisi dan distribusi gas serta jaringan pipa hulu. Pada beberapa tempat aturan tentang penggelaran pipa dan acuan standar untuk penggelaran pipa migas bawah laut belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik, sehingga timbul beberapa permasalahan secara teknis dan lebih jauh menimbulkan konflik kepentingan dengan sektor lain. Oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan jaringan pipa ini dengan cara melakukan pengawasan/ inspeksi secara periodik dan berkala.

Tujuan penelitian adalah menginventarisasi keberadaan pipa migas bawah laut dan anjungan migas lepas pantai, mengkaji permasalahan yang ditimbulkan, selanjutnya mengusulkan pengelolaannya baik yang masih beroperasi maupun tidak, dengan sasaran masukan data teknis yang berkaitan dengan permasalahan keberadaan infrastruktur migas di laut dan memberikan bahan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan perundangan yang telah ada yang berkaitan dengan keberadaan infrastruktur migas di laut.

Lokasi kajian dititikberatkan pada wilayah perairan yang mempunyai infrastruktur migas bawah laut, seperti anjungan migas lepas pantai dan jalur pipa penyalur minyak dan gas bumi. Wilayah tersebut meliputi perairan sekitar pantai utara Jawa, perairan utara Madura dan Selat Madura, perairan sebelah timur Kalimantan Timur, perairan Kepulauan Riau dan perairan sekitar Pulau Natuna. Berdasarkan hasil identifikasi data dan hasil pengecekan lapangan, sebagian besar lokasi anjungan migas di wilayah perairan Indonesia berada pada kedalaman laut antara 10-100 m, hanya beberapa buah anjungan yang terdapat di perairan yang kedalamannya lebih dari 100 m, yaitu anjungan migas di perairan sebelah timur Kalimantan Timur (kedalaman antara 400-1000 m) dan anjungan migas di sebelah timur-selatan P. Kangean (150-200 m).

Dari 530 buah anjungan yang ada di perairan Indonesia sebanyak 70 buah anjungan sudah tidak beroperasi. Anjungan-anjungan ini sebagian besar dibangun antara tahun 1970-1990 dan sebanyak 60 buah anjungan tersebar di Laut Jawa.

Sebaran sumur pemboran dan anjungan migas yang sudah tidak
beroperasi di Laut Jawa (sumber : PPPGL, 2010)

Beberapa permasalahan yang terjadi pada anjungan migas lepas pantai di wilayah perairan Indonesia, baik yang masih beroperasi maupun yang sudah tidak beroperasi, di antaranya adalah adanya penurunan stuktur anjungan terhadap level muka air laut yang disebabkan oleh adanya penurunan muka tanah (subsidence) disekitar anjungan, terjadinya penurunan kualitas struktur anjungan akibat adanya korosi dan marine growth, dan beberapa anjungan migas posisinya terletak pada jalur pelayaran dan daerah tangkapan ikan.

Khusus untuk anjungan yang tidak beroperasi berdasarkan PP No. 35 Tahun 2004 pasal 78 ayat 1 dan perjanjian dalam Production Sharing Contract (PSC) tahun 1976 – 1988 keberadaan anjungan ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membongkar atau memanfaatkannya untuk fungsi lain. Mengingat biaya pembongkaran suatu anjungan migas lepas pantai sangat mahal mencapai 1.5 Juta Dolar Amerika per anjungan dan sangat memberatkan beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), maka usulan untuk memanfaatkan anjungan tidak beroperasi untuk kepentingan lain merupakan solusi yang sangat memungkinkan dan diatur dalam Permen ESDM No. 35 Tahun 2006, pasal 17 dan pasal 18. Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa Menteri ESDM dapat mengajukan usulan penghapusan barang operasi (termasuk anjungan migas lepas pantai) untuk dapat dimanfaatkan, dipindahkan, atau dimusnahkan atas persetujuan dari Menteri Keuangan. Untuk dapat memanfaatkan anjungan migas untuk fungsi lain harus dilakukan penelitian secara lengkap, baik yang menyangkut masalah teknis, aturan standar, lingkungan, maupun perundang-undangan yang berlaku.

Rencana jaringan pipa baru yang akan dibangun meliputi jaringan pipa Natuna - Kalimantan, Jawa - Kalimantan, Jawa Barat - Jawa Timur, dan jaringan Sumatera - Jawa.

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap infrastruktur pipa migas di dasar laut pada setiap zona perairan diajukan beberapa usulan untuk pengelolaan jaringan pipa migas di dasar laut, di antaranya adalah melakukan pemeriksaan secara periodik dan berkala pada jaringan pipa transmisi, distribusi dan pipa hulu yang terdapat di dasar laut terutama pada lokasi-lokasi yang potensial untuk terjadinya kegagalan struktur pipa, jalur pipa yang melewati lokasi tempat labuh kapal, jalur pipa yang melewati lokasi penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang dan jalur pipa yang melewati lokasi-lokasi di alur pelayaran yang padat dengan menggunakan beberapa metode geofisika, seperti Remotely Operated Vehicle (ROV), Side Scan Sonar (SSS), Multibeam Echosounder, dan Geomagnetik Laut.

Pemeriksaan dilakukan secara periodik dan berkala pada jaringan pipa untuk mendeteksi adanya korosi, kebocoran pipa, pipa retak dan marine growth dengan menggunakan Remotely Operated Vehicle (ROV). Pemendaman dilakukan pada pipa yang digelar secara terbuka di dasar laut pada kedalaman laut kurang dari 13 m. Sedangkan pipa yang digelar secara terbuka di dasar laut pada kedalaman laut lebih dari 13 m harus dilengkapi dengan pemberat, hal ini untuk menjaga kestabilan pipa di dasar laut dan mencegah terjadinya kegagalan struktur pada sistem perpipaan. Memberi bangunan pendukung (concrete) pada pipa yang terindikasi mengalami kondisi bentangan bebas (freespan), sesuai dengan standar DNV-RP-F105. Penimbunan dilakukan pada lokasi perpotongan (crossing) antar pipa bawah laut atau dengan kabel bawah laut agar tidak terjadi kondisi freespan. Memberi buckle arrestor pada pipa yang mengalami buckling atau pemipihan atau pembengkokan sesuai dengan standar DNV OS F101-2000 untuk kondisi local buckling dan DNV RP-F110 untuk kondisi global buckling.


Disadur dari:

Pipa Kabel Bawah Laut Indonesia Seperti Sarang Laba-laba

Sudah saatnya pemasangan pipa kabel bawah laut diatur. Tanpa pengaturan yang baik, selain menggangu transportasi laut, kabel pipa bawah laut yang dipasang serampangan juga berpotensi besar mudah rusak dan menimbulkan kerugian.

Pengaturan pipa bawah laut ini menjadi salah satu hal yang diatur dalam revisi Undang -undang nomor 27 tahun 2007 terutama tentang sistem zona dan alur migrasi perikanan. Dengan begitu, tidak bisa lagi pipa bawah laut dipasang secara sembarangan.

“Sampai hari ini di republik ini belum ada undang-undang yang mengatur pipa bawah laut,” kata Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelauatan dan Perikanan Sudirman Saad, Selasa (17/12). Karena itu wajar ini di dasar laut Indonesia terutama yang dekat dengan kota-kota besar, pipa kabel bawah laut terpasang semrawut. “Seperti sarang laba-laba,” kata Sudirman.

Ia mencontohkan di kawasan Teluk Jakarta dimana banyak terdapat pipa kabel bawah laut. Bahkan kawasan yang sudah mendapat izin reklamasi ada yang akal menimbun kabel dan pipa bawah laut.

Ia membandingkan sistem pengaturan pipa kabel bawah laut di Singapura yang tertata rapi di zona tertentu. Tiga koridor dibuat dengan jarak yang diatur. Karena itu, di perairan negeri singa itu, kapal berbobot 1.000 gross ton (GT) atau lebih bisa lego jangkar.

Sementara dengan jaringan pipa kabel bawah laut sarang laba-laba, perairan Batam tidak bisa dimasuki kappa berbobot 1.000 GT. “Bagaimana hebatnya pelabuhan di Batam, kalau tidak ada pengaturan, kapal 1.000 GT tidak bisa masuk,” ujar Sudirman.

Jika ada kapal lego jangkar, maka besar kemungkinan akan merusak pipa kabel bawah laut di wilayah Indonesia itu. Ia mencontohkan kasus padamnya jaringan listrik di Madura selama sebulan beberapa waktu lalu karena jangkar kapal di Tanjung Perak mengenai kabel transmiri listrik ke Madura.

Inilah pentingnya Undang-undang nomor 27 tahun 2007 yang revisinya disahkan DPR pada hari Rabu (18/12). Perlu ada penataan wilayah mana yang berbahaya atau wilayah yang masuk dalam alur migrasi perikanan.

Undang-undang menurut Sudirman juga akan mengatur tentang kewenangan dalam pengelolaan izinnya. Untuk pemasangan kabel pipa bawah laut yang di luar jalur pelayaran misalnya yang harus seizin Kementerian Kelautan Perikanan (KKP). Ini akan disesuaikan dengan wilayah penangkapan ikan serta kawasan alur migrasi ikan sehingga tidak ada tumpang tindih. Jangan sampai kasus di Madura dan tersangkutnya ikan hiu paus di jalan nelayan Jawa Timur terulang.

Sesuai dengan peraturan Internasional, dalam radius tertentu wilayah kabel pipa bawah laut, dilarang ada aktivitas apapun. Jika kita menerapkan aturan ini, saat ini perairan kita, khususnya yang dekat dengan kota besar menurut Sudirman tidak boleh ada kegiatan pelayaran dan penangkapan ikan.


Disadur dari:

Manajemen Pembuangan Limbah Panas

Buangan limbah panas dari pendingin mesin-mesin industri dan pendingin mesin pembangkit tenaga listrik ke perairan laut secara kontinyu di suatu tempat dan tidak mempertimbangkan kondisi perairan dan cuaca serta iklim dapat berdampak negatif terhadap kehidupan organisme di habitat perairannya. Hal ini dapat diminimalisasikan atau bahkan tidak akan berdampak sama sekali jika dilakukan suatu usaha untuk mengatur buangan limbah panas dengan manajemen yang tepat dan benar. Manajemen buangan limbah tersebut meliputi pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut:
  • Pembuangan limbah panas dengan volume tertentu pada suatu musim dan kondisi cuaca dan iklim tertentu dengan suatu kondisi perairan laut yang tepat.
  • Pengaturan pembuangan limbah panas pada pipa-pipa buangan limbah panas yang tepat pada suatu musim dan kondisi cuaca dan iklim tertentu dengan suatu kondisi perairan laut yang tepat jika terdapat beberapa pipa buangan (outfall).
  • Pembuangan limbah panas dengan suhu air tertentu pada suatu musim dan kondisi cuaca dan iklim tertentu dengan suatu kondisi perairan laut yang tepat jika menggunakan mekanisme regulator pendingin sebelum dibuangan ke perairan.
  • Kedalaman pipa buangan limbah panas pada suatu musim dan kondisi cuaca dan iklim tertentu dengan suatu kondisi perairan laut yang tepat jika terdapat beberapa pipa limbah buangan panas pada beberapa level kedalaman sebagai alternatif buangan.
Strategi dan perencanaan pengaturan tersebut di atas adalah sebagai dasar untuk dibangunnya skenario pemodelan untuk mengetahui efisiensi dan efektifitas dari pemilihan berbagai macam alternatif pengaturan buangan limbah panas. Beberapa skenario model dengan manajemen tertentu dapat disimulasikan untuk mengetahui pola penyebaran perubahan suhu perairan dan kemungkinan dampaknya, sehingga pada akhirnya akan terpilih pola manajemen buangan limbah panas mana yang paling optimal untuk digunakan.

Modul Hidrodinamika digunakan untuk mensimulasikan kondisi perairan meliputi arus dan gelombang sedangkan modul Adveksi-Dispersi digunakan untuk mengkaji pola perpindahan (transport), penyebaran (dispersion) dan pengurangan (decay) dari limbah buangan panas. Efek dari perubahan suhu terhadap habitat dalam suatu ekosistem di perairan tersebut ditelaah dengan menggunakan modul model Ekosistem, sedangkan jika lokasi pembungan limbah panas terdapat di sekeitar perairan estuari maka modul Aliran Sungai dapat diintegrasikan untuk menghasilkan luaran model yang lebih akurat. Hasil dari pemodelan dapat diintegrasikan visualisasi dan basis data pemodelan dengan menggunakan modul GIS Kelautan.


Disadur dari:

Pemodelan Hidrodinamika untuk Perencanaan Pemasangan Pipa Bawah Laut di Perairan Utara Jawa



Kajian ini dilakukan sebagai studi awal untuk mengkaji pola sirkulasi arus dan tinggi muka laut di perairan sebelah utara Banten dan Jawa Barat. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mempelajari pengaruh pola sirkulasi arus terhadap rencana pemasangan pipa bawah laut dari mulai sebelah timur sampai ke sebelah barat di perairan tersebut. Proses hidrodinamika di perairan ini kemungkinan besar berpengaruh pada penempatan pipa dasar laut. Terdapat dua kemungkinan yaitu pergeseran pipa dan terjadinya proses sedimentasi di sepanjang pipa yang akan ditanam. Pergeseran pipa akan berpengaruh terhadap kekuatan pipa untuk menahan gaya renggaan pipa di dasar laut dan sedimentasi akan mempengaruhi proses perawatan pipa.

Teknologi pemodelan membantu untuk mengkaji pola sirkulasi arus dan tinggi muka laut di perairan ini. Skenario pemodelan dibangun berdasarkan dua musim yang berbeda yaitu musim barat dan musim timur. Di perairan utara Jawa, sirkulasi arus sangat besar dipengaruhi oleh regim muson dimana angin barat dan timur akan membangkitkan sirkulasi perairan arus di perairan ini. Hasil dari kajian ini diperoleh informasi seberapa besar pengaruh kecepatan dan arah arus terhadap kestabilan pipa dasar laut pada kedua musim tersebut.
Modul model yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
  1. Hidrodinamika
  2. GIS Kelautan
Aplikasi lainnya yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut:
  1. Bangunan Lepas Pantai
  2. Sedimentasi

Disadur dari:
"Pemodelan Hidrodinamika untuk Perencanaan Pemasangan Pipa Bawah Laut di Perairan Utara Jawa" (2008)

Kajian Row of Way Peletakan Pipa Dasar Laut Kaltim-Jawa

Pulau Jawa memiliki kebutuhan akan hasil migas yang sangat tinggi, yaitu sekitar 70 persen dari konsumsi energi di Indonesia. Diantara alternatif pemasokan gas bumi ke Jawa adalah membangun pipa transmisi dari Kalimantan Timur ke Jawa. Pipa tranmisi jalur ini merupakan gabungan jalur onshore (Bontang-Banjarmasin) dan offshore (Banjarmasin-Semarang). Studi ini dikhususkan untuk mengkaji jalur pipa offshore. Peletakan jalur pipa pada bawah laut (offshore) sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan, baik dasar perairan maupun perairan bagian atasnya, baik secara geologi, geofisika, arus, gelombang, lingkungan dan aspek lainnya, seperti hukum dan perundangan, hubungan dengan pengguna laut lainnya.

Kajian ini ditujukan adalah memperoleh data dan informasi yang dapat dijadikan parameter penentu pemilihan lokasi peletakan jalur pipa gas bawah laut. Hasil studi menunjukkan bahwa jalur pipa offshore dari Banjarmasin-Semarang bejarak sekitar 600 kilometer, dengan lokasi landfall di daerah Takisung, Banjarmasin dan landing poin di Semarang - Jawa Tengah. Daerah Takisung terpilih sebagai daerah landfall karena daerah ini bukan merupakan daerah militer seperti di pelaihari, sehingga tidak ada konflik interes dan bukan merupakan daerah sedimentasi tinggi. Pada daerah ini juga berdekatan dengan landfall/ landing poin dari pengguna lainnya, seperti kabel telekomunikai. Secara umum kondisi geologi jalur pipa Banjarmasin-Semarang merupakan daerah yang cukup stabil baik ditinjau dari segi tektonik maupun litologi dasar lautnya. Namun beberapa kenampakan struktur patahan antara Pulau Jawa dan Kalimantan harus tetap mendapatkan perhatian khusus. Demikian pula dengan pusat gempa yang terdapat tidak merata yang mungkin terlewati oleh jalur pipa tersebut. Batimetri lokasi jalur pipa pada umumnya mempunyai topografi landai. Pada landing point semarang batimetri landai sampai jarak sekitar 2 km ke arah laut dan selanjutnya topografi agak curam.

Topografi landfall Takisung landai bergelombang. Penentuan jalur pipa bisa melewati offshore secara keseluruhan ataupun melewati Karimun Jawa, bila diperlukan. Secara geologi daerah ini mempunyai kondisi dengan bahaya geologi yang seragam. Hal perlu diperhatikan untuk daerah Karimun Jawa adalah adanya daerah-daerah berkarang di sekitar pulau Karimun Jawa, yang lokasinya bisa teridentifikasi dari ekstraksi data Landsat TM.


Disadur dari:
N.Y. Geurhaneu dan Undang Hernawan - Puslitbang Geologi Kelautan. KAJIAN RIGHT OF WAY (ROW) PELETAKAN PIPA DASAR LAUT KALTIM - JAWA

Metode Pengendalian Korosi Pipa Bawah Laut

Dalam perancangan struktur pipa bawah laut, terbentuknya korosi tidak dapat dihindarkan. Faktor kondisi lingkungan tempat struktur pipa bawah laut berada sangat mendukung terjadinya korosi. Korosi yang terjadi pada struktur pipa bawah laut akan menjadi sesuatu hal yang berbahaya jika tidak dilakukan usaha pencegahan, pengendalian, dan monitoring. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengendalikan korosi khususnya pada struktur pipa bawah laut yaitu: 
  1. Pemilihan Material Pipa
    Saat ini, telah ditemukan berbagai bahan logam yang bisa dimanfaatkan untuk segala bentuk kegiatan industri di dunia ini. Namun, sayangnya dari sekian banyak logam yang telah ditemukan itu, bisa dikatakan bahwa tak banyak dari logam-logam yang telah ditemukan tersebut yang tahan terhadap jenis-jenis korosi. Salah satu upaya pencegahan korosi untuk efisiensi operasi dan pemeliharaan adalah dengan menggunakan logam-logam yang tahan terhadap beberapa jenis korosi tertentu yang secara potensial dikandung oleh suatu jenis proses produksi/ pengolahan.
  2. CoatingPada stuktur pipa bawah laut, lapisan pelindung (coating) merupakan penghalang pertama dalam menahan korosi. Pelapisan pelindung pada pipa bawah laut ini dimaksudkan untuk melindungi dan melapisi pipa dari lingkungannya agar secara fisik dapat efektif memisahkan baja dari lingkungannya yang berpotensi menimbulkan korosi. Pelapisan (coating) ini dapat berupa pelapisan dengan logam lain yang sifatnya lebih anodik.
  3. Pemakaian Inhibitor
    Inhibitor korosi merupakan zat organik dan anorganik yang bila ditambahkan ke dalam lingkungan yang korosif akan menghambat atau menurunkan laju korosi. Inhibitor korosi digunakan untuk melindungi pipa dari serangan korosi akibat aliran fluida. Umumnya inhibitor korosi ini berasal dari senyawa-senyawa organik dan anorganik yang mengandung gugus-gugus yang memiliki pasangan elektron bebas, seperti nitrit, kromat, fosfat. Pemakaian inhibitor pada pipa bawah laut biasanya digunakan untuk menangani permasalahan korosi internal pada pipa. Korosi internal yang diakibatkan oleh aliran fluida yang memiliki fasa jamak yang terdiri dari air dan kontaminannya seperti O2, H2S, CO2 akan menyebabkan terjadinya korosi pada internal pipa. untuk menghambat laju korosi pada internal pipa terjadi dengan cepat, diperlukan pengendalian terhadap korosi tersebut salah satunya dengan pemakaian inhibitor melalui teknologi pigging.
  4. Cathodic Protection
    Cathodic protection merupakan suatu metode perlidungan terhadap suatu logam dari serangan korosi. Jika terjadi korosi, perlindungan katodik dapat digunakan untuk menghentikan proses korosi tersebut. Meskipun demikian, perlindungan katodik hanya dapat mengentikan proses korosi tetapi tidak dapat mengembalikan material yang telah terkorosi sebelumnya. Pada dasarnya korosi merupakan proses elektrokimia dimana reaksi elektrokimia terjadi lewat pertukaran elektron. Sistem anti korosi pada perlindungan katodik menghalangi terjadinya reaksi korosi yang muncul dengan cara mencegah terjadinya pertukaran elektron. 
Pada sistem sistem perlindungan katodik, proses korosi akan terjadi di anoda sedangkan untuk katodanya bebas dari korosi. Pada umumnya logam adalah anoda namun pada sistem perlindungan katodik logam berfungsi sebagai katoda sehingga akan terlindung dari korosi. Hal ini terjadi dengan cara mengalirkan elektron yang memiliki arus listrik lebih tinggi daripada yang dihasilkan oleh reaksi korosi pada anoda. Perlindungan katodik membutuhkan sumber arus listrik untuk mencegah serangan korosi pada logam. Metode Cathodic Protection yang biasa digunakan sebagai proteksi logam terhadap serangan korosi ada 2 (dua) jenis, yaitu:
  • Sacrificial Anode
    Arus listrik disuplai dari proses korosi yang terjadi pada sumber arus listrik yang terbuat dari logam aktif seperti zinc dan aluminium yang memiliki arus positif yang lebih besar daripada logam. Perbedaan potensial elektron ini menyebabkan adanya daya tarik elektron bebas negatif yang lebih besar daripada daya tarik ion-ion pada logam. Hal ini mengakibatkan sumber arus listrik tersebut akan ter.serang korosi dan sebaliknya logam akan terlindungi korosi.
  • Impressed Current
    Perbedaan antara sistem Impressed Current dengan sistem Sacrificial Anode ini terletak pada suplai arus yang diperoleh oleh logam yang akan diproteksi. Logam yang akan diproteksi disuplai oleh sumber tenaga eksternal, dalam hal ini adalah rectifier.

Disadur dari:
Fajar Alam Hudi dan Rildova, Ph.D. ANALISIS DESAIN SACRIFICIAL ANODE CATHODIC PROTECTION PADA JARINGAN PIPA BAWAH LAUT

Pengelasan Basah Bawah Air

Meskipun teknik pengelasan basah bawah air (dalam hal ini yang dimaksud adalah wet welding) telah dikenal sejak 1930, namun pada kenyataannya belum banyak pihak yang tertarik untuk mengaplikasikannya sebagai solusi yang tepat guna. Ada beberapa keuntungan yang didapat dari teknik pengelasan ini, diantaranya adalah biaya yang relatif lebih murah dan persiapan yang dibutuhkan jauh lebih singkat dibanding dengan teknik yang lain, namun ada hal-hal lain yang mesti dipertimbangkan sebelum mengaplikasikannya. Artikel ini akan membahas tentang aplikasinya dalam perbaikan struktur lepas pantai dengan fokus pada batasan-batasan dan tantangan-tantangannya. Selama masa operasinya, struktur lepas pantai akan membutuhkan beberapa intervensi bawah air untuk perawatan, perbaikan atau perubahan seperti:
  • Penguatan untuk resertifikasi struktur yang telah habis design life-nya
  • Perbaikan karena kesalahan desain
  • Perbaikan karena kerusakan yang disebabkan oleh; (1) Kesalahan pada saat instalasi; (2) Insiden, misalkan tertabrak kapal, badai, kejatuhan benda dari atas dek, dsb; (3) Keretakan pada sambungan karena keadaan lingkungan (ombak, angin); (4) Penambahan struktur karena adanya perubahan operasi (pemasangan riser clamp, caisson, dsb); (5) Pemasangan anode.
Seperti disebutkan diatas bahwa belum banyak pihak yang tertarik untuk menerapkan teknik pengelasan bawah air ini. Ini terbukti bahwa hanya ada 50 kegiatan pengelasan bawah air untuk perbaikan struktur lepas pantai yang dipublikasikan selama 40 tahun terakhir, itu juga dengan sedikit informasi yang bersifat teknik. Pihak industri masih tertarik untuk memakai pengelasan hyperbaric atau pemasangan clamp meskipun butuh persiapan yang lebih rumit dan biaya yang lebih mahal. Dibawah ini akan dijelaskan beberapa kendala yang masih ada yang membuat pihak industri masih keberatan untuk memakai teknik ini, juga beberapa tantangan bila kita ingin menggunakannya. Untuk intervensi diatas, ada beberapa teknik yang umum dipakai seperti: 
  • Grinding out cracks 
  • Clamps 
  • Grout filling 
  • Pengelasan hyperbaric 
  • Pengelasan bawah air

Kendala

Keengganan pihak industri untuk memakai teknik pengelasan bawah air ini bisa dimengerti mengingat hal- hal berikut:
  1. Class, baik DNV atau LR belum menerima teknik ini untuk perbaikan yang sifatnya permanen. Ada weld defects yang hampir selalu menyertai (porosity, lack offusion, cracking) yang memberatkan teknik pengelasan ini untuk tujuan-tujuan perbaikan permanen. memang untuk perbaikan elemen yang 'kurang penting', classs sudah bisa menerimanya sebagai permanen bersyarat bisa dianggap sebagai permanen asal dalam inspeksi mendatang tidak ditemukan penurunan yang signifikan dari kualitas pengelasan tsb.
  2. Mengacu pada AWS D3.6:1999 'Specification for underwater welding', hasil terbaik yang bisa diperoleh dari teknik ini adalah baru Class B. hasil seperti ini hanya bisa diterima kalau tujuan pengelasan hanyauntuk aplikasi yang kurang penting/kritis dimana ductility yang lebih rendah, porosity yang lebih banyak, discontinuities yang relatif lebih banyak masih bisa diterima. Kalaupun pengelasan ini dipakai biasanya hanya diaplikasikan untuk tujuan-tujuan yang sifatnya 'fit for purpose' saja.
  3. Tingginya resiko hydrogen cracking di area HAZ terutama untuk material yang mempunyai kadar carbon equivalent lebih tinggi dari 0.4%. Terutama di Laut Utara, struktur lepas pantainya biasa menggunakan material ini.
  4. Dari pengalaman yang ada di industri, teknik pengelasan ini hanya dilakukan sampai kedalam yang tidak lebih dari 30 m. 
  5. Kinerja proses shieldedmetal arc (SMA) dari elektroda ferritic memburuk dengan bertambahnya kedalam. Produsen elektroda komersial juga membatasai penggunaannya sampai kedalaman 100 meter saja. 
  6. Sifat hasil pengelasan juga memburuk dengan bertambahnya kedalaman, teruatama ductility dan toughness. 
  7. Karena kontak langsung dengan air, maka air di sekitar area pengelasan menjadi mendidih dan terionisasi menjadi gas oksigen dan hidrogen. Sebagian gas ini melebur ke area HAZ tapi sebagian besar lainnya akan mengalir ke udara. Bila aliran ini tertahan, maka akan terjadi resiko ledakan yang biasanya membahayakan penyelam.

Pemecahan

Meskipun ada beberapa kendala yang membuat pihak industri enggan untuk memakai teknik pengelasan ini,sebenarnya ada beberapa usaha perbaikan yang telah dilakukan, baik dalam teknik pengelasan maupun mutu elektrodanya, seperti:
  1. Hydrogen cracking dan hardness di area HAZ bisa diminimalisasi atau dihindari dengan penerapan teknik multiple temper bead (MTB). Konsep dari teknik ini adalah dengan mengontrol rasio panas (heat input) diantara lapisan-lapisan bead pengelasan. Untuk mengontrol panas ini, ukuran bead pada lapisan pengelasan pertama harus 'disesuaikan' sehingga penetrasi minimum ke material bisa didapat. Begitu juga untuk lapisan yang kedua dan seterusnya. ada tiga parameter yang mempengaruhi kualitas pengelasan dalam penerapan MTB ini, yaitu : jarak antara temper bead, rentang waktu pengelasan dan heat input. 
  2. Teknik buttering juga bisa digunakan terutama untuk material dengan CE lebih dari 0.4%. Elektroda butter yang digunakanbisa elektroda yang punya oxidizing agent atau elektroda thermit. 
  3. Pemakain elektroda dengan oxidizing agent, agent ini akan menyerap kembali gas hidrogen atau oksigen yang terserap di haz.
  4. Pemakaian thermit elektroda juga bisa digunakan.Elektroda jenis ini akan memproduksi panas yang tinggidan pemberian material las (weld metal) yang sedikit sehingga mengurangi kecepatan pendinginan dari hasil pengelasan oleh suhu di sekitarnya sehingga terjadi semacam proses post welding heat treatment. 
  5. Elektroda berbasis nickel bisa menahan hidrogen untuk tidak berdifusi ke area HAZ. hanya sayangnya hardness di area HAZ masih tinggi dan kualitas pengelasan hanya baik untuk kedalaman sampai 10 meter.

Yang Harus Dilakukan

Seperti telah disebutkan diatas, selain biaya yang lebih murah, hal yang terpenting yang patut dipertimbangkan dalam pemilihan aplikasi pengelasan bawah air adalah persiapan yang singkat. Perlatan yang digunakan untuk pekerjaan ini hampir sama dengan teknik pengelasan kering. ada beberapa hal yang harus dipikirkan sehingga penerapan teknik pengelasan basah bawah air ini lebih diterima oleh industri:
  1. Hal-hal yang disebutkan diatas untuk menjembatani kekurangan dalam pekerjaan pengelasan bawah air baru terbukti untuk kedalaman sampai 30 meter saja. Lembaga-lembaga pengelasan harus proaktif untuk mencoba teknik-teknik baru untuk perairan yang lebih dalam lagi. 
  2. Pengelasan teknik ini tergantung sekali pada kemampuan penyelam. artinya kalaupun tekniknya memungkinkan, pengelasan hanya bisa dilakukan sampai kedalaman 200 meter saja. Perlu dipikirkan penggunaan teknik secara otomatis atau mekanis untuk perairan yang lebih dalam lagi.

Disadur dari:
Administrator http://www.api-iws.org/ (2011). Teknik Pengelasan Basah Bawah Air.

Metode Instalasi Pipa Bawah Laut

Metode instalasi pipeline yang digunakan saat ini yaitu metode S-Lay, J-Lay dan Reeling. Penggunaan instalasi metode S-Lay dan J-Lay didasarkan pada kondisi lingkungan berupa kedalam seabed dengan laut dangkal untuk metode S-Lay, dan laut dalam untuk metode J-Lay. Selain itu kondisi lingkungan juga akan memberikan beban hidrodinamis berupa gerakan pada laybarge dan kestabilasan pipeline. Akibatnya beban dinamis ini akan mengakibatkan tegangan (tension dan bending) pada daerah tertentu sepanjang pipeline saat instalasi.

Metode J-Lay

Metode S-Lay


Disadur dari:
Gazali, Wisnu Wardhana, J.J. Soedjono (Teknik Kelautan ITS). PENGARUH KEDALAMAN LAUT DAN DIMENSI PIPA TERHADAP INSTALASI PIPA BAWAH LAUT DENGAN METODE J-LAY.

Korosi Retak Tegang pada Pipa Bawah Laut

Korosi adalah permasalahan yang selalu timbul ketika suatu material baik metal maupun non metal berada pada lingkungan yang korosif. Sedangkan pada pipa bawah laut maka permasalahan korosi menjadi sangat diperhatikan karena konfigurasi pipa yang bermacam-macam dan lingkungan air laut yang sangat korosif. Apabila korosi ini terjadi dan dipadukan dengan adanya tegangan yang mengenainya (stress atau strain) maka besar kemungkinan suatu pipa akan mengalami keretakan (crack) yang akibatnya bisa sangat berbahaya.

Adanya keretakan membuat kekuatan pipa berkurang, penurunan kekuatan pipa sebanding dengan penambahan panjang retak sampai pipa tidak mampu lagi menahan beban yang diberikan fluida. Pada pipa yang terpasang di dalam laut mempunyai peluang terjadi retak (crack) yang besar. Hal ini bisa disebabkan karena adanya beban arus (stress) maupun karena adanya korosi yang diikuti dengan adanya tekanan fluida pada pipa yang biasa disebut dengan istilah Stress Corrosion Cracking (SCC). 

Korosi Retak Tegang

Stress Corrosion Cracking (SCC) adalah keretakan akibat adanya tegangan dan media korosif secara bersamaan (Supomo, 2003). SCC terjadi karena adanya tiga kondisi yang saling berkaitan, yakni adanya tegangan, lingkungan yang korosif, dan temperatur yang tinggi. Secara real, kejadian SCC sering terjadi pada peralatan perpipaan pada industri minyak dan gas.

Stress corrosion bisa meningkat pada material yang dimuati secara mekanis pada lingkungan yang korosif. Permukaan material akan larut pada lokasi dimana permukaan material tersebut mengalami tegangan yang tinggi. Penyebab dari korosi tegangan ini antara lain adalah beban/tegangan, kondisi elektro-kimia yang sangat bervariasi, atau juga bisa karena aktifitas mikrobiologi yang terdapat pada suatu material. Beberapa interaksi ini menyebabkan beban mekanik menjadi semakin berat pada permukaan suatu material, dan akibatnya akan terbentuk lubang korosi (korosi sumuran) yang merupakan awal dari terbentuknya crack (keretakan) pada suatu material. (NPL, 2000

Proses retak awal pada material akan sangat berbahaya ketika terjadi korosi lubang (pitting corrosion) karena korosi ini terjadi pada celah yang sempit dan sangat susah diprediksi. Sifatnya yang menjalar ke arah kedalaman semakin memperparah kondisi material yang telah terserang korosi lubang ini (Davis, 2000). Sifat korosi lubang tidak menyebabkan berkurangnya tebal material, akan tetapi merubah sifat ulet material menjadi lebih getas dari sebelumnya.

Mekanisme kegagalan komponen logam akibat retak yang terjadi karena adanya SCC terbagi menjadi dua fase, yakni fase pemicuan dan fase penjalaran. Fase pemicuan adalah fase ketika pembangkit tegangan terbentuk. Pada fase ini terjadi serangan terhadap bagian-bagian logam material yang bersifat anoda sehingga mengakibatkan timbulnya cekukan atau lubang. Ketika tegangan melebihi kekuatan luluh material, maka material akan mengalami deformasi plastik, yakni ikatan-ikatan pada struktur kristalnya putus sehingga bentuk material berubah secara permanen. Sedangkan pengertian fase penjalaran adalah fase yang akhirnya menyebabkan kegagalan. Pada fase penjalaran ini dikenal istilah retak awal dan fase perambatan retak (Jones, 1992).


Disadur dari:
Putu Aditya Setiawan, Murdjito, Heri Supomo (Teknik Kelautan dan Teknik Perkapalan ITS). ANALISA PERAMBATAN RETAK PADA PIPA BAWAH LAUT AKIBAT STRESS CORROSION CRACKING DENGAN METODE NUMERIK.

Tentang Analisis Freespan Pipa Bawah Laut

Analisa freespan dilakukan setelah proses inspeksi pasca instalasi. Freespan pipa bawah laut adalah suatu keadaan dimana terbentuk bentangan pipa dengan panjang tertentu memiliki jarak (gap) terhadap seabed. Bentangan bebas pada pipa ini sangat berbahaya terhadap konstruksi pipa itu sendiri, yang nantinya mengakibatkan kerusakan. Bending diakibatkan beban statis yang timbul pada pipa. Sementara itu beban siklis berakibat pipa terkena beban dinamis. Fenomena vortex shedding ditimbulkan akibat beban dinamis, dimana disebabkan getaran/osilasi pada pipa. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu evaluasi atau analisa terhadap freespan yang terjadi.

Analisis freespan dilakukan dalam tiga kondisi yaitu, kondisi instalasi, kondisi hidrotes, dan kondisi operasi. Perbedaan untuk masing-masing kondisi ini terdapat pada jenis pengisi pipa, kondisi korosi pada pipa, dan gaya lingkungan yang terjadi. Pada kondisi instalasi, bagian dalam pipa masih berisi udara dengan densitas sama dengan nol, pipa belum dipengaruhi oleh korosi, dan gaya lingkungan yang digunakan adalah gaya lingkungan dengan periode ulang satu tahun. Pada kondisi hidrotes, bagian dalam pipa terisi dengan air sehingga berat jenis pengisi pipa adalah berat jenis air laut. Tebal pipa belum berkurang karena belum terkena korosi. Gaya lingkungan yang digunakan adalah gaya lingkungan dengan periode ulang satu tahun. Pada kondisi operasi, bagian dalam pipa sudah terisi gas sehingga berat jenis pengisi pipa adalah berat jenis gas pengisi pipa. Tebal pipa masih belum berkurang karena belum terkena korosi dan gaya lingkungan yang digunakan adalah gaya lingkungan dengan periode ulang seratus tahun. Pada setiap kondisi akan dianalisa freespan pada pipa akibat beban statis, sehingga dapat ditentukan panjang span yang diijinkan agar tegangan yang terjadi tidak lebih dari tegangan yang diijinkan. Selain beban statis juga dianalisa freespan akibat beban dinamis sehingga dapat ditentukan panjang span yang diijinkan agar frekuensi natural pipa tidak sama dengan frekuensi beban yang mengenai freespan


Disadur dari:
Umar Arif, Hasan I, Imam R. ANALISA FREESPAN AKIBAT SCOURING PIPA BAWAH LAUT .

Penekukan (Buckling) pada Pipa

Penekukan (buckling) pada pipa dapat didefinisikan sebagai perubahan/ deformasi (ovaling) pada penampang pipa yang terjadi pada satu atau seluruh bagian pipa. Apabila tidak disertai dengan retaknya pipa, maka disebut buckling kering, sebaliknya apabila ditemukan retakan pada pipa, disebut buckling basah.

Proses ovalisasi akibat local buckling

1. Local Buckling

Local buckling merupakan suatu kondisi dimana terjadi deformasi bentuk pada penampang melintang suatu pipa. Analisis local buckling dilakukan untuk kondisi instalasi, hal ini disebabkan karena proses instalasi merupakan kondisi paling kritis terjadinya local buckling akibat tidak adanya tekanan internal.

2. Propagation Buckling

Propagation buckling adalah perambatan deformasi bentuk pada penampang melintang pipa yang memanjang dan merambat di sepanjang pipa. Energi yang menyebabkan terjadinya perambatan ini adalah tekanan hidrostatik, hal ini disebabkan oleh tekanan eksternal (hidrostatik) yang lebih besar dari tekanan propagasi buckle pipa yang berperan sebagai penahan.

Prinsip dari propagation buckling adalah adanya tekanan yang dapat menimbukan propagating buckle (tekanan inisiasi buckle) yang nilainya lebih besar dari tekanan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya perambatan buckle tersebut (tekanan collapse). Apabila kondisi ini terjadi, maka tekanan inisiasi buckle pada pipa akan menimbulkan perambatan buckle dan menyebabkan collapse pada pipa sampai tekanan eksternal bernilai sama atau kurang dari tekanan propagasi. Hal ini berlaku untuk pipa yang mempunya properti pipa yang seragam di sepanjang jalur pipa. Tetapi, prinsip yang paling dasar adalah propagation buckling tidak akan terjadi apabila tidak ada local buckling yang terjadi. Pada gambar di bawah ditunjukkan jenis-jenis propagation buckling yang umum terjadi.



Disadur dari:
Julius Heryanto (2008). Laporan Tugas Akhir: Desain dan Analisis Struktur Pipa Bawah Laut (http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/607/jbptitbpp-gdl-juliushery-30323-3-2008ta-2.pdf)

Kriteria Pemilihan Material Pipa

Perancangan pipa melibatkan pemilihan diameter pipa, ketebala, dan material yang digunakan. Diameter pipa harus dipilih berdasarkan pertimbangan kapasistas aliran yang diinginkan untuk mengangkut hasil produksi fluida dari sumur-sumur minyak atau gas. Hal ini membutuhkan suatu analisis menyeluruh dengan asumsi untuk keadaan kondisi operasi terburuk sepanjang masa layan dari pipa yang direncanakan.

Setelah itu, desain dilanjutkan untuk memilih jenis bahan pipa yang akan dipakai. Apakah akan menggunakan pipa dari baja, komposit, atau jenis fleksibel yang kemudian membuat keputusan detail mengenai komposisi dan spesifikasi dari material yang digunakan. Pertimbangan pemilihan material pipa harus didasarkan pada jenis fluida yang akan ditransportasikan, beban, temperatur, dan mode kerusakan yang mungkin selama proses instalasi dan operasi. Pemilihan material pipa harus dicocokkan dengan semua komponen dalam sistem pipa bawah laut. Pipa yang dipilih harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:

  • Sifat mekanik bahan
  • Kekakuan material
  • Ketahanan terhadap retak/ fraktur
  • Ketahanan terhadap fatigue
  • Weldability
  • Ketahanan terhadap korosi
Ilustrasi (http://www.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2007/11/Kuliah%20III-b.pdf)


Disadur dari:
Zenal Abidin (2008). Laporan Tugas Akhir: Analisis On-Bottom Stability dan Instalasi Pipa Bawah Laut di Daerah Shore Approach.

Pipa Bawah Laut Fleksibel

Sebuah pipa fleksibel terdiri dari beberapa lapisan yang berbeda. Komponen utama flexible pipe ini adalah pelindung berbahan termoplastik yang tahan bocor dan kawat baja tahan korosi. Kawat baja yang berbentuk spiral membuat struktur tahan tekanan tinggi dan karakteristik lentur yang sangat baik, sehingga memberikan fleksibilitas dan perilaku dinamis superior. Ini adalah konstruksi modular, berupa lapisan independen tetapi dirancang untuk berinteraksi satu sama lain, berarti bahwa setiap lapisan dapat dibuat spesifik dan mandiri disesuaikan dengan persyaratan terbaik pengembangan bidang tertentu yang terkait. 

Karakteristik utama:
  1. Flexibility
  2. Installability
  3. Modularity

Diterjemahkan dari:

Stabilitas Pipa di Dasar Laut

Kestabilan pipa pada saat di dasar laut (on-bottom stability) menjadi hal yang penting pada struktur pipa bawah laut. Ada beberapa cara untuk mempertahankan kestabilan pipa di dasar laut, diantaranya adalah dengan cara mengurangi gaya-gaya yang bekerja pada pipa seperti dengan melakukan penguburan pipa (burial), penggalian parit atau saluran untuk pipa (trenching), serta pembangunan tanggul pelindung dari batu (rock berm). Selain mengurangi gaya-gaya yang bekerja pada pipa, cara lain untuk mempertahankan kestabilan pipa adalah dengan memasang lapisan beton (concrete coating) sehingga berat pipa bertambah dan kestabilan pipa dapat dicapai.

Dengan bertambahnya berat pipa, maka kestabilan pipa di dasar laut baik dalam arah vertikal maupun horizontal akan bertambah pula. Adapun gaya-gaya lingkungan yang termasuk ke dalam analisis kestabilan pipa terdiri dari gaya-gaya hidrodinamika, seperti gaya seret (drag force), gaya inersia, dan gaya angkat (lift force). Sedangkan resistensi tanah dasar laut merupakan gaya gesek (friction) yang terjadi antara permukaan pipa dengan permukaan tanah dasar laut tersebut.

Analisis kestabilan pipa di dasar laut yang dilakukan harus dapat memenuhi beberapa kondisi yang akan dialami oleh pipa. Kondisi-kondisi tersebut adalah kondisi pada saat instalasi, hidrotes, serta kondisi operasi. Kestabilan pipa di dasar laut mencakup kestabilan arah vertikal serta horizontal. Berikut ditunjukkan ilustrasi pada gambar di bawah.




Disadur dari:
Julius Heryanto (2008). Laporan Tugas Akhir: Desain dan Analisis Struktur Pipa Bawah Laut (http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/607/jbptitbpp-gdl-juliushery-30323-3-2008ta-2.pdf)

Tekanan Pada Pipa Bawah Laut

Struktur dari pipa harus kuat menahan beban-beban yang bekerja pada saat pipa diinstal, hidrotes, dan juga pada saat pipa beroperasi. Selama masa instalasi, pipa akan mengalami pelengkungan, penarikan, gaya gelombang, dan juga tekanan dari air laut. Sedangkan pada masa hidrotes dan operasi, pipa akan mengalami tekanan internal yang berasal dari fluida yang mengalir di dalamnya, tekanan eksternal dari air laut, gaya gelombang, perubahan temperatur, dan sebagainya.

1. Tekanan Internal (Hoop Stress)

Tekanan internal atau yang biasa disebut sebagai hoop stress terjadi akibat tekanan fluida yang mengalir di bagian dalam pipa (ditunjukkan pada gambar di bawah ini), tekanan ini bekerja dalam arah tangensial terhadap dinding dari pipa.



2. Tekanan Eksternal

Struktur pipa bawah laut akan mengalami tekanan hidrostatik dari air laut di atasnya. Semakin dalam perairan dimana pipa berada, maka semakin besar pula tekanan eksternal yang bekerja pada pipa tersebut. Pada kedalaman tertentu dimana tekanan eksternal jauh lebih besar dari tekanan internal yang bekerja di dalam pipa, maka semakin besar pula kemungkinan akan terjadinya kegagalan (collapse) pada pipa.

Kegagalan pada dinding pipa tergantung pada berbagai faktor penentu, diantaranya adalah rasio antara diameter terhadap ketebalan dinding pipa (D/t), karakteristik tegangan dan regangan material, perubahan bentuk penampang melintang pipa (cross section), tekanan hidrostatik, serta momen bending yang terjadi pada pipa.

Untuk mencegah terjadinya kegagalan, maka besarnya tekanan eksternal yang bekerja pada pipa harus memenuhi persamaan berikut ini:

 

3. Tekanan Longitudinal

Longitudinal stress merupakan tegangan aksial yang bekerja pada penampang pipa.

Cross section pipa dan longitudinal stress

Longitudinal stress sendiri adalah penjumlahan dari thermal stress dan Poisson's effect

Thermal stress adalah tegangan yang terjadi akibat adanya ekspansi (pemuaian) yang terjadi pada pipa. 

Sedangkan Poisson's effect merupakan tegangan yang terjadi akibat adanya tegangan residdual pada saat fabrikasi pipa, sehingga pipa harus kembali ke keadaan semual. Kembalinya pipa ke keadaan semula. Kembalinya pipa ke keadaan semula menyebabkan terjadinya gaya aksial yang menyebabkan terjadinya gaya aksial yang menyebabkan kontraksi pada dinding pipa.

4. Equivalent Stress (von Mises Equivalent Stress)

Equivalent stress merupakan resultan seluruh komponen tegangan yang terjadi pada pipa.


Disadur dari:
Julius Heryanto (2008). Laporan Tugas Akhir: Desain dan Analisis Struktur Pipa Bawah Laut (http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/607/jbptitbpp-gdl-juliushery-30323-3-2008ta-2.pdf)

Pemilihan Rute Pipa Bawah Laut

Dalam mengerjakan desain suatu jalur pipa bawah laut, langkah pertama adalah pemilihan rute yang akan dilalui oleh jalur pipa (routing). Ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan rute pipa agar nantinya diperoleh rute yang paling tepat.

Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah:

  1. Faktor kondisi batimetri dari dasar laut (seabed).
  2. Lokasi dari existing platforms dan risers.
  3. Jalur pipa lainnya yang telah ada.
  4. Kedalaman perairan.
  5. Kondisi sosial politik.
  6. Penggunaan area untuk kepentingan publik lainnya.
Pada akhirnya, rute pipa yang dipilih haruslah rute yang paling aman, paling mudah untuk instalasi, serta diusahakan memiliki jarak yang paling pendek.



Disadur dari:
Julius Heryanto (2008). Laporan Tugas Akhir: Desain dan Analisis Struktur Pipa Bawah Laut (http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/607/jbptitbpp-gdl-juliushery-30323-3-2008ta-2.pdf)